Rabu, 01 November 2023

PONDOK PESANTREN

Lembaga pendidikan tempat santri menimba ilmu. Lembaga ini merupakan pilar utama NU. Kebanyakan pesantren berafiliasi dengan NU atau mempunyai pandangan keagamaan yang dekat dengannya. Di Aceh, pesantren disebut dengan nama dayah.Di dalam pesantren terdapat lima elemen pokok, yaitu pondok, masjid (surau), santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Kitab Kuning), dan keberadaan kiai. Pondok adalah asrama tempat para santri menginap sehari-hari di sekitar rumah kiai. Masjid, surau, atau mushola adalah tempat ibadah dan pengajaran yang menjadi awal mula berkembangnya suatu pesantren. Sementara kitab klasik merupakan sumber pengetahuan khas pesantren yang diajarkan oleh kiai sebagai pemimpin sekaligus pemilik pondok pesantren. Pengajaran kitab klasik adalah elemen dasar dari keberadaan pesantren.Para santri belajar kepada kiai melaiui jenjang yang bertingkat-tingkat. Mulai dari belajar kitab kecil (mabshutat) yang berisi teks pengantar sederhana hingga kitab sedang (mutawashitat). Kitab klasik yang dipelajari di pesantren secara umum adalah kitab-kitab klasik dalam kategori mazhab fiqih. tasawuf, kalam, tafsir, hadits dan Iain-Iain, ditambah dengan ilmu alat atau tata bahasa Arab dalam bentuk kitab utama (matan), komentar (syarah), komentar atas komentar (hasyiah), terjemahan, dan ringkasannya.
Warga pesantren adalah kiai (tuan guru, ajengan, atau sebutan lain) yang menjadi pengasuh, para guru, dan para santri. Secara kelembagaan umumnya pesantren memiliki kepengurusan yang sederhana, yakni kiai sebagai pemegang kepemimpinan dan lurah pondok sebagai wakilnya. Di dalam pesantren, seorang kiai merupakan puncak hierarki kekuasaan. Penghormatan kepada kiai dari para santri tidak hanya dilakukan ketika santri mondok di pesantren, tapi dilakukan seumur hidup. Selain oleh kiai, pengajaran di pesantren juga diiakukan oleh santri senior. Pengajaran oleh santri senior ini mempunyai dua fungsi, yakni sebagai latihan penumbuhan kemampuannya untuk menjadi kiai di kemudian hari, dan sebagai pembantu kiai dalam mendidik para santri.Proses penciptaan tata nilai yang dilakukan pesantren meliputi dua hal utama, yaitu peniruan dan pengekangan. Peniruan adalah usaha yang dilaksanakan terus-menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Muhammad saw. dan para ulama salaf ke dalam praktik kehidupan di pesantren. Sementara pengekangan adalah laku disiplin sosial yang ketat di pesantren, misalnya kesetiaan pada kiai.Hal-hal tersebut merupakan kultur yang secara unik dimiliki oleh pesantren yang membedakannya dengan kultur di luar dirinya. Karena keunikannya itu, pesantren juga sering disebut sebagai sebuah subkultur. Secara sosiologis, subkultur minimal harus memiliki keunikan sendiri dalam aspek-aspek cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hierarki kekuasaan intern tersendiri. Ketiga hal tersebut dimiliki oleh pesantren. Pesantren juga merupakan subkultur yang dapat diartikan sebagai sebuah kultur yang relatif lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya, ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya.Sebelum kemunculan pesantren, pengajaran agama dalam masyarakat dilakukan dengan belajar di surau atau di rumah-rumah milik orang yang dianggap mempunyai keahlian agama. Prof. Djoko Suryo menyebutkan, pengajian para wali di Jawa (atau yang secara Iegendaris dikenal dengan sebutan Wali Songo) adalah cikal bakal pesantren. Jika mengacu pada sumber-sumber Babad, tradisi belajar Kitab Kuning sudah ada sejak masa para wali di zaman Kerajaan Demak. Para wali seperti Sunan Giri, Sunan Tuban, Sunan Muria, dan lain-lain mendirikan komunitas belajar di tempatnya masing-masing.Menurut Martin van Bruinessen, pendidikan agama dalam bentuk lembaga pesantren adalah sesuatu yang baru. Dokumen paling awal yang menyebut sekolah keagamaan pesantren adalah dokumen VOC pada tahun 1718 yang bersandar pada kabar mengenai pendirian “sekolah latihan untuk keagamaan” di dekat Surabaya. Pesantren tertua yang masih ada, di Desa Tegalsari dekat Ponorogo, Jawa Timur, didirikan pada akhir abad delapan belas, yakni pada tahun 1742. Sebelum abad sembilan belas, pesantren-pesantren tua dan terkemuka yang kini masih ada belum didirikan. Para pendiri pesantren besar yang didirikan di awal abad ke-19 dan masih ada hingga kini umumnya adalah mereka yang belajar bertahun-tahun di Mekah atau Kairo.Sehingga pesantren-pesantren yang didirikan umumnya juga mengacu pada sistem pengajaran di tanah Arab seperti Masjidil haram dan al-Azhar Kairo. Pada abad ke-19, lembaga pesantren berkembang sangat pesat. Catatan statistik kolonial yang dikutip M.C. Ricklefs mencatat sekitar 94.000 santri belajar di pesantren-pesantren Jawa pada 1863. Pada tahun 1872 meningkat menjadi lebih dari 162.000 santri. Pada tahun 1893 di Jawa dan Madura tercatat lebih dari 272.000 santri belajar di pesantren-pesantren.Aspek yang sangat penting dalam tradisi pesantren adalah penekanan pada pengajaran pengetahuan secara lisan, bahkan ketika mempelajari teks tertulis. Dalam model pembelajarannya, para santri belajar kitab spesifik dengan guru yang spesifik pula, dan setelah menyelesaikan kitab tersebut ia bisa pindah ke guru lain, di pesantren lain, untuk mempelajari kitab yang lain pula. Metode ini dikenal dengan istilah sorogan. Para santri juga bisa duduk bersama di hadapan kiai yang membacakan kitab dan menirukan bacaan pada kitab yang mereka pegang sendiri. Cara ini sering disebut dengan lstilah bandongan. Pada perkembangannya model pengajaran kitab juga dilakukan secara klasikal (kelas).Perkembangan lanjut dari pesantren adalah lahirnya madrasah, yakni sekolah-sekolah keagamaan yang mempunyai kelas-kelas berjenjang dan kurikulum standar yang kebanyakan merupakan pelajaran umum. Sejumlah pesantren mengadopsi sistem madrasah sambil tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional.Sementara sejumlah pesantren lainnya mempertahankan model lama yang hanya mengajarkan kitab-kitab klasik karya ulama-ulama Abad Pertengahan, yang dikenal dengan lstilah “salafiyah”. Pesantren yang mempertahankan sistem pengajaran salafiyah ini disebut sebagai pondok pesantren salaf. lstilah salaf mengacu pada as-salaf ash-shalih, “para pendahulu yang saleh”, yakni tradisi ulama-ulama besar di masa lalu.Dewasa ini banyak pesantren mengajarkan kurikulum pemerintah yang terdiri dari 70 persen pelajaran ilmu umum dan 30 persen pelajaran ilmu agama. Bedanya dengan madrasah negeri adalah bahwa biasanya murid atau santri madrasah di pesantren juga tinggal di pondok atau asrama dan tetap belajar kitab-kitab klasik selain kurikulum madrasah dari pemerintah. Dengan kurikulum yang sudah distandardisasi ini, lulusan madrasah bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang Iebih tinggi pada Sekolah Tinggi Agama atau IAIN. Selain itu, sejumlah pesantren menawarkan tingkat yang Iebih tinggi yang disebut dengan muallim yakni “pelatihan keguruan” atau Ma'had ‘Ali, yang setingkat universitas.


Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android & iOS)